Fikih Khotbah Jumat (Bag. 1)
Khotbah Jumat merupakan salah satu syiar agung dalam Islam yang menyertai pelaksanaan salat Jumat. Ia bukan sekadar nasihat pekanan, tetapi bagian dari ibadah yang memiliki hukum tersendiri dalam fikih, dengan rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar salat Jumat sah. Karenanya, memahami seluk-beluk khotbah Jumat menjadi hal penting bagi para khatib maupun jemaah.
Dalam dua artikel berseri ini, kita akan membahas berbagai hukum dan adab terkait khotbah Jumat berdasarkan referensi fikih klasik yang terpercaya. Pada bagian pertama ini, kita akan mengulas dua pokok utama: kapan dimulainya khotbah Jumat dan apa saja syarat serta rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya.
Kapan dimulainya khotbah Jumat?
Disyaratkan dalam khotbah jumat, bahwa pelaksanaannya harus berada dalam waktu salat Jumat. Jika khotbah dilakukan sebelum waktu salat Jumat, maka khotbah tersebut tidak sah. [1]
Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat tentang awal waktu salat Jumat:
Pendapat pertama: Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa waktu Jumat adalah waktu Zuhur. Maka, kewajiban salat Jumat tidak berlaku dan pelaksanaannya tidak sah kecuali setelah masuk waktu Zuhur, yaitu sejak tergelincirnya matahari.
Pendapat kedua: Adapun Hanabilah [2], mereka berpendapat bahwa awal waktunya adalah awal waktu salat ‘Id. Mereka berdalil dengan hadis Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa,
أنه كان يصلي ثم نذهب إلى جمالنا فنريحها، زاد عبد الله في حديثه: حين تزول الشمس -يعني: النواضح
“Beliau (Nabi) biasa salat, lalu kami pergi ke unta-unta kami dan membiarkannya beristirahat.” Abdullah menambahkan dalam riwayatnya, “yakni saat matahari tergelincir” (yang dimaksud: unta-unta yang digunakan). (HR. Muslim, Kitab al-Jumu‘ah, Bab Salat Jumat saat matahari tergelincir, 2: 588, no. 858)
Namun menurut mereka, pelaksanaan setelah matahari tergelincir tetap lebih utama.
Ibnu Qudamah [3] —dan pendapat ini dirajihkan oleh Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah [4]— menyatakan bahwa waktu salat Jumat adalah satu saa’ah (jam) sebelum matahari tergelincir, berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح، فكأنما قرب بَدَنَةً، ومن راح في الساعة الثانية فكأنما قرب بقرة، ومن راح في الساعة الثالثة فكأنما قرب كبشًا أقرن، ومن راح في الساعة الرابعة فكأنما قرب دجاجة، ومن راح في الساعة الخامسة فكأنما قرب بيضة، فإذا خرج الإِمام حضرت الملائكة يستمعون الذكر
“Barang siapa mandi pada hari Jumat dengan mandi janabah lalu berangkat, maka seakan-akan ia berkurban dengan unta; yang berangkat di jam kedua seperti berkurban dengan sapi; di jam ketiga seperti berkurban dengan kambing bertanduk; di jam keempat seperti berkurban dengan ayam; di jam kelima seperti berkurban dengan telur; dan jika imam telah keluar, maka para malaikat hadir mendengarkan zikir.” (HR. Bukhari no. 841 dan Muslim no. 850)
Ini menunjukkan bahwa ada lima saa’ah (jam) sebelum imam naik mimbar. Dan disebutkan bahwa pada jam keenam, para malaikat mendengarkan zikir (yakni khotbah), yang berarti terjadi sebelum matahari tergelincir satu jam.
Meskipun demikian, pendapat yang paling kuat dan lebih berhati-hati adalah bahwa pelaksanaan salat Jumat dilakukan setelah matahari tergelincir, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas radhiyallahu ‘anhu,
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي الجمعة حين تميل الشمس
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa salat Jumat ketika matahari telah condong.” (HR. Bukhari no. 862)
Dan ini adalah praktik yang paling sering dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [5]
Syarat dan rukun khotbah Jumat
Berdasarkan dalil-dalil syariat, khususnya perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; para ulama menyimpulkan bahwasanya ada rukun-rukun dan syarat-syarat terkait dengan khotbah Jumat. Jika ada salah satu dari rukun atau syarat tersebut yang tidak terpenuhi, maka khotbah Jumat tidak sah.
Ibnu Naqib Al-Mishriy dalam kitabnya ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik [6] menyebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut.
Rukun-rukun khotbah
Rukun-rukun khotbah Jumat ada lima, yaitu:
Pertama: Memuji Allah Ta‘ala
Hal ini berdasarkan hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu,
كان رسول الله ﷺ يخطب ، يحمد الله تعالى ، ويثني عليه بما هو أهله
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhotbah dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya sebagaimana Dia berhak.” (HR. Muslim no. 867)
Kedua: Selawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah berfirman,
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
“Dan Kami telah mengangkat sebutan (namamu).” (QS. al-Insyirah: 4)
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, dalam sebuah hadis qudsi yang merupakan tafsir ayat tersebut, Allah berfirman,
لا أُذكرُ إلَّا ذُكِرْتَ مَعِي
“Tidaklah Aku disebut, melainkan kamu pun disebut bersama-Ku.” (HR. Ibnu Hibban no. 3382, didho’ifkan oleh Al-Albani)
Ketiga: Wasiat takwa
Ketiga rukun ini harus ada dalam kedua khotbah. Lafaz “al-hamdu lillah” dan selawat harus disebutkan secara eksplisit, sedangkan lafaz wasiat takwa tidak disyaratkan tertentu —cukup dengan ucapan seperti, “bertakwalah kepada Allah” atau “taatilah Allah”.
Keempat: Membaca satu ayat Al-Qur’an dalam salah satu dari dua khotbah
Hal ini, berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya adalah hadis Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,
ويقرأ آيات، ويذكر الله عز وجل، وكانت خطبته قصداً ، وصلاته قصداً
“Beliau membaca beberapa ayat dan menyebut Allah ‘Azza wa Jalla. Khotbahnya sedang—tidak panjang dan tidak pendek.” (HR. Muslim no. 862)
Kelima: Berdoa untuk kaum mukminin pada khotbah kedua
Secara umum, dalil dari kelima rukun di atas adalah praktek khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [7] Wallaahu a’lam.
Syarat khotbah Jumat
Disyaratkan dalam pelaksanaan khotbah Jumat hal-hal berikut:
Pertama: Suci dari hadas dan najis, sebagaimana syarat salat.
Kedua: Menutup aurat, karena khotbah disamakan dengan salat dalam hal ini.
Ketiga: Dilaksanakan dalam waktu Zuhur sebelum salat Jumat, berdasarkan hadis Salamah radhiyallahu ‘anhu,
كنا نجمع مع رسول الله إذا زالت الشمس ، ثم نرجع فنتبع الفيء
“Kami biasa melaksanakan Jumat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika matahari telah tergelincir, lalu pulang mengikuti arah bayangan (setelah zawal).” (HR. Muslim no. 860)
Telah berlalu pembahasa lebih mendalam pada awal artikel ini.
Keempat: Dilakukan dalam keadaan berdiri bagi yang mampu, sebagaimana firman Allah,
وَتَرَكُوكَ قَائِمًا
“Dan mereka meninggalkanmu dalam keadaan berdiri.” (QS. al-Jumu‘ah: 11)
Dan ucapan Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,
فمن نبأك أنه كان يخطب جالساً فقد كذب
“Siapa saja yang memberitahumu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah sambil duduk, maka ia telah berdusta.” (HR. Muslim no. 862)
Kelima: Ada duduk di antara dua khotbah.
Keenam: Meninggikan suara hingga terdengar oleh 40 orang jamaah, yang dengannya Jumat dianggap sah.
Dalilnya adalah firman Allah,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A‘raf: 204)
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun terkait khotbah Jumat, dan disebut “Al-Qur’an” karena di dalamnya dibacakan ayat. “Diam” di sini artinya adalah sikap tenang dan mendengarkan dengan perhatian. [8]
Demikian pembahasan seputar waktu, rukun, dan syarat khotbah Jumat. Semoga bermanfaat dan menjadi bekal dalam menjaga kesempurnaan ibadah. Pada bagian kedua, insya Allah akan dibahas masalah-masalah praktis seputar khotbah Jumat yang sering terjadi di masyarakat.
[Bersambung]
***
Rumdin PPIA Sragen, 23 Zulkaidah 1446
Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab
Artikel Muslim.or.id
Referensi Utama:
Aaghaa al-Nuri, Qasim Muhammad. Fath al-Ilah al-Malik ‘ala ‘Umdat as-Salik wa ‘Uddat an-Nasik. Cetakan Pertama. Kairo: Maktabah Dar al-Fajr, 1437/ 2016.
Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh al-Muyassar: Qism al-‘Ibadat. Edisi keempat. Riyadh: Madarul Wathan, 1439/ 2018.
Catatan kaki:
[1] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 428.
[2] Sebagaimana disebutkan dalam al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, 3: 239–243.
[3] al-Mughni, 3: 240.
[4] asy-Syarh al-Mumti‘, 5: 33.
[5] al-Fiqh al-Muyassar, 1: 423.
[6] ‘Umdah as-Sālik wa ‘Uddah an-Nāsik, hal. 158-159.
[7] Lihat Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 234–235; dan al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 177-178.
[8] Disarikan dari Fatḥul-Ilāh al-Mālik ‘alā ‘Umdatis-Sālik wa ‘Uddatin-Nāsik, hal. 235-236. Lihat juga al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 19: 178-181.
Artikel asli: https://muslim.or.id/105754-fikih-khotbah-jumat-bag-1.html